PelajarNU.Ngumpakdalem - Ketua Umum Pimpinan Pusat IPPNU (1964-1966) Farida Marwadi
atau nama lengkapnya Faridatul Unsiyah Mawardi, lahir di kota solo pada 20
Agustus 1945 atau hanya tiga hari setelah bangsa Indonesia memproklamasikan
kemerdekaanya. Dan Pada saat
Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) didirikan pada 2 Maret 1955, usianya
belum genap sepuluh tahun.
Kesibukan mendidik dua anak tidak mengendurkan semangatnya untuk
mengajar juga di Universitas Negeri Jakarta (dulu IKIP Jakarta). Semangat
belajarnya yang tinggi mendapatkan penyaluran setelah berhasil melanjutkan ke
jenjang magister di Macquari University, Australia.
Kefasihannya dalam bahasa Inggris memberikan Farida kesempatan
untuk mengikuti beberapa pelatihan dan seminar di Korea Selatan, London, dan
Bangkok. Farida juga tercatat pernah menjadi Dewan Penasehat Kowani (Korps
Wanita Indonesia).
Putrinya, Nawangsari (Sari) mengingat perjuangan Farida. “Saya
masih teringat yang dilakukan ibu bersama ketua Kowani pada saat itu adalah Ibu
Sulasikin Murpratomo memperjuangkan hak kaum perempuan Indonesia,” ujar Sari kepada
NU Online.
“Setiap selepas maghrib ketika kami masih butuh bimbingan beliau
selalu duduk bersama kami membantu mengerjakan PR (pekerjaan rumah) ataupun
melakukan evaluasi dalam belajar kami,” ungkapnya.
Farida meninggal dunia pada Selasa (17/6/2025) sore di
kediamannya, Jalan Kebon Sirih Barat Nomor 7, Jakarta Pusat. Jenazahnya
dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Karet Bivak, Jakarta Pusat.
Farida atau Faridah, begitu ia biasa dipanggil, memiliki
kakak bernama Latifatuzzahroh (Latifah) Mawardi, yang meski terpaut usia cukup
jauh dari kakaknya tersebut (terpaut kurang lebih 8-9 tahun), namun ia
kerapkali melihat beberapa pertemuan yang diselenggarakan di rumahnya di Jalan
Imam Bonjol No 35 Keprabon Wetan Solo.
Kira-kira, pada tahun
1954, rumahnya yang juga sering disebut sebagai Pesantren Mashyudiyah (merujuk
pada nama kakek Farida bernama KH Masyhud) atau kediaman Nyai Masyhud (merujuk
pada nama nenek Farida atau istri KH Masyhud), kerap digunakan untuk pertemuan
teman-teman kakaknya.
Diskusi-diskusi ringan yang dilakukan oleh sejumlah pelajar
putri di Solo kala itu, di antaranya Umroh Machfudzoh, Atikah Murtadlo, Latifah
Mawardi, Romlah, Basyiroh Soimuri, dan lain-lain.
Dengan panduan Ketua Fatayat Cabang Surakarta, Nihayah (yang
di kemudian hari menjadi istri Rais Aam PBNU, KH Achmad Siddiq), mereka
berbicara tentang pentingnya organisasi pelajar putri dalam tubuh organisasi
NU, setelah sebelumnya, pada bulan Februari 1954, telah lahir Ikatan Pelajar NU
(IPNU).
Gagasan ini menjadi
semakin matang dengan diusulkannya pembentukan sebuah tim kecil oleh paman
Farida bernama Mustahal Achmad, Ketua PC IPNU Surakarta saat itu, untuk membuat
draf pendirian IPPNU.
Gagasan ini akhirnya terealisasikan dan kemudian bersamaan
dengan momen Muktamar I IPNU di Malang, Jawa Timur tahun 1955, berdirilah
IPPNU. diselenggarakanlah Konferensi
Besar (Konbes) pertama (kelak disebut sebagai Kongres I) IPPNU yang
diselenggarakan di Kota Surakarta. Rumah Farida dijadikan untuk pusat
kepanitiaan Konbes.
Hasil Konbes
memutuskan untuk membentuk Pimpinan Pusat IPPNU yang berkedudukan di Solo
(tepatnya di rumah Ny Hj Mahmudah Mawardi), dengan susunan pengurus utama:
Basyiroh Shoimuri (Ketua Umum), Umroh Machfudzoh (Ketua I), dan Syamsiyah
Muthoyyib (Sekjen).
Diambil dari NU Online Farida terlahir dari keluarga penggerak NU. Kakeknya, KH Mashyud bin Qosim bin Ahmad merupakan tokoh kelahiran Bonang Lasem yang kemudian menjadi salah satu tokoh pengurus NU Surakarta pada masa awal berdiri (tahun 1930-an). Kemudian ibunya yang bernama Nyai Hj Mahmudah merupakan tokoh wanita NU, yang pernah menjadi Ketua Umum PP Muslimat NU selama beberapa periode (1950-1979). Sedangkan ayahnya Kiai Mawardi, merupakan tokoh Islam di Kota Solo, yang wafat di usia yang tergolong masih muda.
Pasangan Kiai Mawardi dan Nyai Mahmudah melahirkan 4 orang
anak, yakni Djabir Mawardi (lahir tahun 1934), A Chalid Mawardi (1936),
Latifatuzzahroh Mawardi (1936/1937), dan yang terakhir Faridatul Unsiyah
Mawardi (1945).
Keempat putra-putri Kiai Mawardi dan Nyai Mahmudah tersebut,
kemudian juga ikut aktif sebagai penggerak NU. Djabir aktif sebagai pengurus
PMII dan GP Ansor, kemudian Chalid ikut mendirikan IPNU dan PMII, dan juga
pernah menjadi Ketua Umum PP GP Ansor (1980-1985). Di kemudian waktu, KH A
Chalid Mawardi mengemban amanah sebagai Ketua PBNU di era KH Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) pada tahun 1989-1994.
Sedangkan Latifah yang setelah menikah dikenal sebagai
Latifah Hasyim, selain ikut mendirikan dan menjadi pengurus PP IPPNU di awal
periode, juga pernah menjadi pengurus PP Muslimat NU sejak tahun 1968. Kemudian
ia dipercaya menjadi Sekretaris Umum PP Muslimat NU (1984-1989), Ketua III
(1989-1995), dan Ketua II (1995-2000). Kemudian Farida yang memulai aktivitas
organisasi, dengan menjadi pengurus IPPNU di Kota Surakarta.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, rumah Farida yang
menjadi sentral PP IPPNU, membuatnya sedari dini telah banyak terlibat di
organisasi ini. Memimpin di Masa Genting Sempat dipercaya sebagai salah satu
ketua bidang PP IPPNU (1960-1963), pada Kongres ke-4 IPPNU di Purwokerto tahun
1963, Farida Mawardi terpilih sebagai Ketua Umum (Ketum) PP IPPNU (1963-1966)
menggantikan Ketum sebelumnya, Machmudah Nachrowi.
Farida didampingi Machsanah sebagai sekjen. Dalam buku
Sejarah Perjalanan IPPNU 1955-2000 (PP IPPNU, 2000) diterangkan Kongres
Purwokerto ini menandai awal kerja paralel IPNU-IPPNU dalam setiap kongres dan
konbes di masa-masa berikutnya.
Ketika menjadi Ketua PP IPPNU, Farida membuat sejumlah
kebijakan di antaranya pemindahan sekretariat PP IPPNU dari Surakarta ke
Yogyakarta. Sekretariat PP IPPNU yang semula di rumahnya, di Jalan Imam Bonjol
No. 35 Keprabon Wetan Surakarta secara berangsur-angsur dipindahkan ke Jalan
Gandekan Lor 45, Yogyakarta.
Untuk kelancaran komunikasi organisasi, diterbitkan pula majalah "Kartikawati" oleh Departemen Dakwah dan Penerangan yang berisi agenda kegiatan IPPNU.
Dari sekian banyak, program kerja paling menonjol adalah pengusahaan beasiswa untuk segenap kader IPPNU, mengingat situasi ekonomi akibat kebijakan politik sedemikian parah.
Konsolidasi IPNU-IPPNU sendiri dilakukan dengan mengadakan
Konbes di Pekalongan, Jawa Tengah. Konbes III IPNU dan konbes I IPPNU yang
dilaksanakan bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda itu menelurkan
"Doktrin Pekalongan" yang memberikan landasan idiil, khususnya butir
4, bagi IPNU-IPPNU untuk segera melakukan aktualisasi perjuangannya, ketimbang
hanya sekedar mengeluarkan seruan, resolusi, deklarasi, dan konsepsi ideal
lain.
Melalui doktrin itu,
IPNU-IPPNU menegaskan bahwa Pancasila bukan hanya sekedar alat pemersatu tetapi
juga merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia yang memiliki kedudukan jauh
lebih tinggi daripada Manifesto Komunis maupun Declaration of Independence.
Konbes juga menjawab isu yang sempat berkembang mengenai
disatukannya keorganisasian IPNU dan IPPNU. Disebutkan dalam doktrin tersebut:
"... bahwa perpisahan organisasi antara IPNU dan IPPNU bukanlah suatu
faktor yang dapat dijadikan sebab kemacetan dan terhambatnya perkembangan kedua
organisasi dalam segala aspeknya, bahkan menunjukkan progresivitas dan
emansipasi yang dibenarkan, yang oleh karenanya mengadakan peleburan dalam
artian fungsi dari kedua
organisasi tersebut dipandang sangat tidak perlu dan tidak dibenarkan, di
samping itu mengadakan integrasi dalam artian kerja sama perlu
diintensifkan."
Doktrin tertanggal 28
Oktober 1964 itu dideklarasikan bersama oleh IPNU dan IPPNU, masing-masing
diwakili oleh Asnawi Latief dan Farida Mawardi yang menjabat sebagai ketua
umum.
di ambil dari situs NU Online
Hasil yang nyata dari doktrin tersebut adalah dibentuknya "Corps Brigade Pembangunan" (CBP) yang bertugas menghimpun putra-putri NU untuk membantu pelaksanaan pembangunan masyarakat desa, transmigrasi, dan program-program pembangunan mental dan material lainnya.
CBP dibentuk sebagai organ di bawah PP IPNU dan PP IPPNU
yang merupakan barisan serba guna dalam soal keamanan dan pembangunan.
Pada akhir bulan Juli hingga Agustus 1965 dilangsungkan
pemusatan latihan (Training Center, TC) untuk komandan-komandan cabang dan
daerah CBP di Cebongan, Yogyakarta.
Setelah terjadi peristiwa G30S pada awal Oktober 1965, pada
perkembangannya IPNU-IPPNU tergabung dalam Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar
Indonesia (KAPPI), dalam upaya untuk menyuarakan Tritura.
Pada tanggal 12 Januari 1966, Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia (KAMI) dan KAPPI memelopori kesatuan aksi yang tergabung dalam Front
Pancasila mendatangi DPR-GR menuntut Tritura. Isi Tritura adalah:
1. Pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya,
2. Perombakan kabinet Dwikora, dan
3. Turunkan harga pangan.
Kongres Surabaya ini memunculkan beberapa keputusan,
diantaranya yang terpenting adalah pernyataan bahwa IPNU-IPPNU berdiri sendiri
sebagai badan otonom NU, yang semula secara administratif bernaung di bawah LP
Ma'arif.
Dengan menjadi badan
otonom, Ketum PP IPNU dan IPPNU berhak duduk sebagai anggota pleno PBNU bersama
badan-badan otonom lainnya. Sebagai konsekuensi dari perubahan status tersebut
adalah IPNU dan IPPNU harus bisa lebih mandiri dalam setiap kegiatannya, namun
di saat yang sama dapat berpartisipasi langsung dalam setiap pengambilan
keputusan yang dilakukan melalui sidang pleno PBNU.
Kongres juga memutuskan untuk memindahkan Pimpinan Pusat
dari Yogyakarta ke ibukota negara yaitu Jakarta. Dalam kongres itu Asnawi Latif
terpilih kembali sebagai Ketua Umum PP IPNU sedangkan Machsanah (yang kemudian
menjadi istri Asnawi) dan Umi Hasanah masing-masing terpilih sebagai Ketua Umum
dan Sekjen PP IPPNU.
Menjadi Pendidik Ketika aktif di IPPNU, Farida juga kuliah
di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Gadjah Mada (UGM).
Karena domisilinya ini juga aktivitas PP IPPNU lebih banyak dikendalikan dari
Yogyakarta.
Tamat dari universitas, Farida bekerja sebagai pegawai
Kanwil Departemen Perindustrian dan Departemen Agama DIY, hingga kemudian
menjadi Dosen di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Nama Purnomo, melekat di belakang namanya, setelah ia
menikah dengan Muhamad Purnomo, yang kemudian membawa kariernya sebagai dosen
hijrah ke IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Di ibukota, Farida aktif dalam PP Muslimat NU sebagai Ketua Bidang Pendidikan dan pada kepengurusan PP Muslimat NU tahun 1995-2000 ia masih tercatat sebagai anggota. Dari pernikahannya dengan Purnomo, ia dikaruniai dua anak, yakni SK Nawangsari (lahir 1975) dan Achmad Kurniawan Sudjatmiko (1977).
di ambil dari situs NU Online